Wednesday 23 September 2015

Hari Pertama Musim Semi

Ding!

Aroma kopi memenuhi lift kecil berukuran 1x1 yang bergetar lembut ketika berhenti di lantai lima. Aku melangkah keluar dan melihat sekeliling, sambil diam-diam mengucapkan selamat tinggal sejenak pada pojok-pojok ruangan yang dulu kupenuhi dengan kegiatan menanti—menelan ludah, membaca draft proposal, menggaris bawahi post-it berkali-kali—deadline, deadline. Lantas sekarang, aku disini, berdiri lima meter dari pintu kantor dosenku, lebih tua satu tahun dari September tahun lalu, sembari berpikir akan apa yang harus aku tanyakan, katakan dan tidak tanyakan atau katakan. Ia menyambutku, berkaus hijau dan bersin-bersin ketika aku menyalaminya. Dia bilang dia sakit dan baru pulang dari Mesir, serta beberapa kali menjawab sambungan telepon yang menanyakan jadwal kepergiannya ke Paris sore ini—"Halo? Oh, saya sedang bertemu dengan murid saya. Sepuluh menit lagi, bagaimana?" Dalam hati aku menghitung hari-hari menuju kepulanganku ke rumah, pada Indonesia yang hangat dan masakannya yang dipenuhi cabai dan rempah-rempah, pada ayah-ibuku yang menyimpan rahasia-rahasiaku dan teman-temanku yang akan sibuk bertanya rencana masa depanku. Apabila aku sedang ingin berkata jujur, tentu akan kujawab, "aku sedang beristirahat selama dua bulan. Mungkin akan ke gunung, ke pantai, ke perkebunan kopi dan teh, mengelilingi desa-desa yang hangat dan menyerap sinar matahari selagi aku bisa. Aku akan bertemu dengan nenekku, adik-adikku, teman-temanku, orang-orang asing di kelokan pertama dan mendengar kisah mereka hingga aku bosan atau mereka bosan dan minuman kami habis (aku teh, mungkin dia kopi?) Aku akan berjalan, menulis, mengayuh sepeda dan membaca Sartre banyak-banyak. Aku akan bahagia dan baik-baik saja," lalu aku akan tersenyum dan mengikat lidahku, lalu mereka akan termenung dan mengganti topik—atau tidak mengganti topik. Atau tidak peduli sama sekali. Tidak apa-apa.

Ketika sesi pertemuanku berakhir, aku mengambil jalan memutar menuju perpustakaan. Di jalanan dan trotoar-trotoar berbatu, daun-daun mulai menguning, memerah dan beberapa pohon menjadi setengah hijau. Di hadapanku, orang-orang lalu lalang, berdecak dan menarik ujung jaket mereka ketika angin bertiup. Mahasiswa baru, dengan pakaian teranyar dan rambut yang dipangkas menawan, akan bergerombol, malu-malu dan bersemangat, berteriak dan bicara keras-keras untuk mendapat perhatian kawannya. Lalu, bulan depan, jalanan akan dipenuhi dengan anak-anak yang berlarian dengan telinga terbungkus topi berbulu dan jas hujan warna-warni.

Namun aku tidak akan punya waktu untuk melihat semua daun menjadi kuning dan pohon-pohon menjadi telanjang ditiup angin, aku tidak akan ada ketika para mahasiswa ini menekuk wajah mereka—patah hati, essai pertama, nilai buruk atau muntah dan kepayahan di akhir pekan. Aku juga tidak akan menyaksikan kanak-kanak itu berlarian, pipi mereka memerah sementara hujan merembesi jalanan bulan November.

Astaga. Ini sudah hari pertama musim semi.

Pada musim yang sama, setahun yang lalu, aku sedang menekuri daftar kelas pilihan dan tempat tinggal, aku sedang menggeret koperku di atas trotoar berbatu dan memasak spagetti yang tidak enak. Aku sedang menghitung persediaan uang yang terlambat dikirim dan mempelajari matematika ekonomi yang kemudian tidak aku gunakan. Aku sedang menghafal uang koin (delapan jenis, dimulai dari satu penny hingga dua pounds) dan mengingat jalanan menuju tempat tinggal pertamaku yang hangat (dekat kedai pizza, ambil jalan menuju pembuangan sampah di belakang gedung).

Lantas, tiba-tiba, setahun berlalu dengan cepat, melesat tanpa tedang aling dan peduli, meninggalkanku tertegun di ujung jalan. Dan aku ingin sekali protes, 'aku belum belajar banyak!' aku akan berteriak, 'aku belum banyak mengerti!', 'masih banyak yang tidak terhingga!'. Aku akan menghentak-hentakan kakiku, merengek dan merajuk, seakan-akan aku sedang dicurangi waktu.

Dahulu, aku kira aku akan bereaksi demikian.

Tapi rupa-rupanya, sekarang, aku memandang ke belakang dengan ketenangan yang tidak aku mengerti. Seakan aku telah dibuat mengerti akan hal-hal yang terjadi. Yang dulu sudah lalu dan memang selalu ditakdirkan berlalu. Ketika aku datang, aku berharap akan menyelesaikan segalanya dengan spektakuler, menjadi lebih hebat dan lebih pintar, dan aku merasa bahwa dunia adalah kumpulan sistem yang dapat dipecahkan rahasianya (satu ditambah satu—) dan aku, bila berusaha, akan mampu membuka tabirnya dengan mudah (—tidak sama dengan dua?)

Sekarang, aku ingin semua berakhir dengan tenang. Pencapaian dan kegagalanku akan aku simpan diam-diam dan, rupanya, bukannya merasa lebih pintar, aku merasa semakin kecil dan tidak berdaya.

Apabila ada seseorang yang bertanya padaku akan apa yang telah aku pelajari dalam satu tahun ini, aku mungkin akan berkata bahwa ada banyak orang yang mengajarkanku akan banyak, banyak, banyak hal. Bahwa kadang aku merasa seperti dihanyutkan dalam sebuah sampan di batas-batas semesta yang tidak kukenali dan segalanya berkilauan, mengerikan sekaligus menakjubkan. Tapi yang paling berharga untukku adalah bagaimana bulan-bulan inilah yang—dengan lembut ataupun diam-diam memaksa—mengajarkanku untuk berendah hati, untuk mengetahui batas-batas kemampuanku, untuk memahami hal-hal yang dirasa remeh dan digugat penting, untuk memikirkan adanya kebijaksanaan dalam setiap tindakan yang diambil, kata-kata yang diucapkan maupun yang diikat dibalik kerongkongan. Lalu, apabila ada yang bertanya padaku akan apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan dunia... Entahlah. Mungkin, mendengar?—dalam arti luas.

Ketika aku tiba di depan perpustakaan, aku terdiam dan memperhatikan bangunan, pohon-pohon, orang-orang dan lampu-lampu jalanan di bawah langit kelabu. Dan diam-diam aku bersyukur. Aku mengambil duduk di atas tangga semen yang dingin lalu menelepon ibuku selama satu jam.

"Halo?—Ya, Ma. Tiga hari lagi Kakak pulang."

3 comments:

  1. congratulations Ruri..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenarnya, belum lulus secara ofisial he he he tapi terimakasih! :)

      Delete
  2. Aku nemu blogmu, haha. Aku kok sedih bacanya Rur.

    ReplyDelete