Thursday 26 November 2015

Penutupan

Impian-impian bulan November berhamburan melintasi jalanan-jalanan kota saat ratusan lulusan tahun ini melebur di udara dingin dengan kebahagiaan yang tercecer di antara derak tawa, denting gelas wineyang mungkin hanya diisi wine murahan dan jus jeruk setengah harga, blitz yang mengilap di gelapnya langit sore, serta senyuman lebar para orang tua. Dalam kegemuruhan, aku merasa kecil dan bahagia, dan aku melihat ayahku membuka jaket dan sarung tangannya, lalu gemetar sedikit, untuk berfoto dengan batik yang pagi-pagi disetrikanya hingga licin demi momen pendek ini.

Malam itu kakiku lecet dan aku mengantuk setengah mati. Temanku membawakanku sandal jepit yang kupakai pada suhu di bawah sepuluh derajat dengan angin sialan Skotlandia yang mengibar-ibarkan jarik batikku. Aku ingat betapa minggu-minggu lalu aku bilang pada ibuku kalau aku tidak ingin menghadiri wisuda (mahal dan dingin). Dan ketika ayahku jungkir balik meminta cuti akhir tahun, kubilang tidak usah datang (ijazah dapat dikirim). Tapi ia berkeras dan adikku bilang bahwa aku dan ibuku tidak mengerti yang tidak terlihat. 

Lantas, saat upacara pendek itu usai; saat aku menghambur keluar bersama rombongan bocah setengah tua yang berseri-seri; saat aku melihat cengiran ayahku di antara keriuhan pelukan hangat, ucapan selamat, bunga-bunga dan lautan jubah-jubah wisuda; aku mengerti maksud adikku. Adikkuyang kecil, culun dan dulu suka mengigiti jempol kakiku sambil mengira itu lebih menyakitiku ketimbang harga dirinya kelaksekarang sudah bekerja dan bilang bahwa seluruh bapak-bapak berperut gendut di kantornya mengeluh akan keabsenan mereka pada riak-riak pendek kehidupan anaknya, ibunya, keluarganya; kelahiran yang digantikan rapat, wisuda yang digantikan perjalanan dinas, perayaan natal dan lebaran yang terlewatkan tanpa pulang.

Beberapa menit kemudian ibuku menelpon. Di rumah bulikku di Sidoarjo katanya tidak ada jaringan internet dan ia bolak-balik berusaha melihat wisudaku via live streaming hingga jengkel. Aku tertawa. Dan mendadak aku merasa bahwa acara penobatan yang kemarin kubilang tidak berarti dan tulisanku yang kubilang setengah sampah, seperti punya arti kecil yang lebih berharga, meski bukan untukku. Sambil geli, kukatakan pada ibuku bahwa Ayah telah menghilang selama limabelas menit untuk mengantri DVD kelulusan kami, dan meski aku hanya muncul maksimal duapuluh detik di panggungitupun karena namaku panjang dan jalanku terseok-seok karena kakiku lecetdia bisa puas melihatku berkali-kali.

Malam wisuda itu selesai dan aku melihat pencapaian teman-temanku yang menggetarkan hatikupenelitian akan kebijakan energi di EU, hubungan antara krisis dan kinship di Botswana, manfaat interaksi antar penderita demensia, dllmembuatku merasa kecil namun penuh pengharapan akan kebaikan-kebaikan yang menyelisip malu di dunia. Lantas, usai nyaris mati terseok-seok dan ayahku hampir terpeleset di jalanan licin musim dingin, kami tiba di rumah. Ayahku bersarung, minum teh dan berkata, nyaris pelan, sambil melihat foto-foto wisuda dimana pipiku luar biasa lebar dan rambutku urak-urakan seperti gelandangan"Nak, bersyukur, Nak."

Lalu aku merasa hatiku mengempis dan malam itu aku tertidur dengan kehangatan yang menyelusup di antara heater yang kepayahan. Dan aku mendoakanandaikan terkabul, seluruh teman-temanku, atau pemuda-pemudi di belahan bumi yang lain, yang sedang bekerja hingga larut malam, yang belajar sambil mengutuki nasib, atau yang kebingungan, ketakutan dan merasa gagal ketika malam menggelap dan orang-orang terlelapagar merasakan sejumput kebahagiaan serupa, apapun bentuknya. Dan untuk mereka, untuk teman-temanku yang tidak datang wisuda dan datang, tidak masalah dan tidak apa-apa, karena apapun yang terjadi, ada orang-orang di ujung ruanganentah siapayang dengan tulus berbahagia akan pencapaianmu, meski kadang-kadang kamu merasa tidak. Seperti yang kutangkap dari cerita adikku akan bapak-bapak berperut gendut yang menghantui kantornya, bahwa terkadang kita mengejar yang berada di masa depan dan lupa untuk 'ada' dalam masa ini, untuk menghargai keajaiban-keajaiban yang menempel sekejap dan hanya dapat dirindukan di akhir waktu. Keajaibanku adalah cengiran ayahku, rasa syukurnya yang diucapkannya sambil menghajar musuh di Marvel Champion, ibuku yang mengomeli sambungan internet Indonesia, teman-temanku yang mengeluh kedinginan di luar Usher Hall, sahabat-sahabatku yang mengirimkan pelukan, ucapan selamat, serta yang mengomentari kelusuhanku di foto-foto wisuda. Aku rasa hal-hal seperti ini kadang nyaris tidak terlihat dan kamu mungkin harus memperhatikan dengan seksama untuk melihat ketulusan dan kehangatan yang abu-abu itu.

Selamat malam untuk kita, anak-anak muda yang sedang resah dan selalu merasa tidak cukup. Kamu sudah berjalan cukup jauh dan lihatlah telapak kakimu itu yang mengelupas mengerikan (dalam arti yang sebenarnya ataupun tidak.) Untuk malam ini, tidurlah dan beristirahatlah. Semoga impian-impianmu yang penuh kebaikan itu tercapai.